Halaman

Wednesday, May 10, 2017

Dampak Vonis Penjara Ahok Terhadap Politik di Indonesia


Vonis dua tahun penjara bagi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok dinilai pengamat akan berdampak pada partisipasi kelompok minoritas dalam kehidupan politik di Indonesia.
Ketua YLBHI, Asfinawati, berpendapat vonis tersebut 'akan sangat menakutkan' bagi kelompok minoritas untuk bersuara dan mungkin membuat mereka berpikir ulang untuk masuk dalam proses politik, pilkada, atau pemilihan presiden.
Terlepas dari dampaknya tersebut, Asfinawati juga berpendapat keputusan hakim yang menyatakan Ahok terbukti melakukan penodaan agama bisa menjadi preseden yang buruk sekaligus menunjukkan langkah mundur yang luar biasa.

"Bahkan ada seseorang pejabat publik yang posisinya sangat tinggi, bisa dikriminalkan dengan pasal ini. Seseorang dengan posisi sedemikian rupa, yang dalam sejarah peradilan di Indonesia biasanya bisa lepas dibanding rakyat biasa, ternyata kena juga."
"Orang akan sangat hati-hati dan sangat takut kalau berbicara nanti dia akan kena pasal penodaan agama," tambah Asfinawati.
"Karena kalau 'salah omong' bisa terkena pidana. Mungkin awal-awal ini seperti menyasar minoritas, tapi percayalah semua orang akan dapat gilirannya kalau kita tidak mematikan pasal ini karena tergantung rezimnya saja yang berganti-ganti, seperti yang menimpa HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)."
"Begitu arah angin politik berubah, tiba-tiba dia (HTI) terancam," tegas Asfinawati.

Setelah HTI dilarang

Sehari sebelumnya, Senin (08/05), pemerintah lewat Menkopolhukam, Wiranto, mengumumkan langkah membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia setelah dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat.

Bendera HTI sering muncul di tengah massa GNPF-MUI dalam aksi-aksi yang menuntut hukuman berat terhadap Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, selain juga muncul dalam aksi unjuk rasa Februari 2017 lalu, yang membela Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam.
Lalu, apakah vonis terhadap Ahok bisa dilihat sebagai 'kompensasi' atas langkah pemerintah membubarkan HTI?
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Sri Budi Eko Wardani, membantahnya.
"Terlalu sederhana dan terlalu menyakitkan kalau ini soal balas-membalas atau trade off, karena putusan ini punya dampak politis yang tidak sederhana," ujar Sri Budi.
Ditambahkan bahwa hakim sepertinya agak menafikan konteks terjadinya yang dituduhkan sebagai penistaan agama tersebut mengingat intoleransi dan represi serta diskriminasi pada kelompok-kelompok tertentu sudah berangsung lama.
"Dan ini tidak dilihat sebagai konteks saat Basuki Tjahaja Purnama mengatakan itu (mengutip Surat Al Maidah) di Pulau Seribu tapi malah mengarahkan pada niat terjadi penodaan," kata Sri Budi.
Dia melihat vonis atas Ahok membawa Indonesia dalam 'konteks darurat' karena akan semakin menguatnya politisasi identitas etnis dan agama.
"Kita mau mengarah ke mana, isunya dibawa ke mana?"
"Bahwa menyebut (putusan) ini untuk tujuan politik jangka pendek pemilihan presiden 2019 atau untuk mendongkel pemerintahan sekarang, sah-sah saja. Tapi ada isu mendasar yang harus diangkat ke permukaan, yaitu bagaimana relasi mayoritas-minoritas. Demokrasi kita mau yang berwajah mayoritas sajakah?" kata Sri Budi.
Ahok dihukum dua tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Jakarta Utara, yang dipimpin H Dwiarso Budi, walau jaksa menuntut hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Setelah divonis, Ahok langsung menjalani hukuman di LP Cipinang namun tim penasehat hukumnya sedang mengupayakan penangguhan penahanan maupun perlakuan tahanan kota sejalan dengan pengajuan banding.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39858478

No comments: